TABLOIDTIRAI.COM - Sebuah skandal lingkungan terkuak di tengah upaya penyelamatan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Kepala desa di sejumlah wilayah Kabupaten Pelalawan diduga kuat telah menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) / Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) / Surat Keterangan Garap / Surat Keterangan Desa di dalam kawasan hutan. Tindakan ini menuai kecaman dari aktivis mahasiswa dan lingkungan karena dinilai berpotensi serta membuka ruang para penggarap kawasan hutan untuk menguasai lahan tersebut.
Juru Kampanye Komunitas Masyarakat Peduli Lingkungan Indonesia (KOMPLI), Heri Sonros menegaskan bahwa penerbitan dokumen tersebut adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang tidak bisa ditoleransi. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera memproses para kepala desa yang terlibat.
“Baik SKT, SKGR, SKD dan apapun namanya tidak bisa dibenarkan jika diterbitkan di atas kawasan konservasi seperti TNTN. Ini pelanggaran serius yang seolah melegalkan dan melakukan pembiaran terhadap kejahatan lingkungan secara administratif,” ujar Heri, Jum'at (13/6).
Pernyataan keras itu disampaikan sekaligus sebagai bentuk dukungan tegas terhadap Satgas PKH yang tengah berjibaku berupaya mengembalikan fungsi hutan TNTN di Kab. Pelalawan, Riau.
Sebagaimana disampaikan tim Satgas PKH, pihaknya kini tengah mendalami terkait penerbitan surat / sertifikat di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
“Aparat penegak hukum sekarang sedang melakukan penelitian terkait dengan adanya terbitnya sertifikat-sertifikat hak kepemilikan dan surat hak atas tanah. Padahal TNTN itu merupakan kawasan hutan yang sangat dilindungi,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar dikutip dari Antara.
Hasil penelusuran Tim investigasi KOMPLI, sedikitnya 4 Kades di Pelalawan diduga kuat terlibat dalam skandal lingkungan tersebut. Modus yang digunakan berbeda-beda dengan makna yang seragam, 'Hanya surat keterangan, bukan surat kepemilikan'. Namun hal itu, tetap saja dianggap berpotensi dan membuka ruang bagi para penggarap untuk melegalkan kesalahannya itu. Keempat Kades tersebut diantaranya,
1. Kepala Desa Air Hitam-Ukui Tansi Sitorus
Tansi Sitorus Diduga telah menerbitkan SKT di kawasan TNTN. Bahkan dirinya mengaku telah menerbitkan sekitar 1500 lebih SKT. Namun, Tansi mengelak jika itu disebut untuk melegalkan kepemilikan lahan (dalam kawasan TNTN). Ia berdalih, itu hanya sebagai surat keterangan / surat keterangan garap yang bersifat sementara.
2. Kepala Desa Pangkalan Gondai-Langgam Aman L
Aman L disebut-sebut terlibat dalam penerbitan dokumen pengakuan tanah / surat pernyataan tanah (SPT) atas nama Anita Girsang dengan luas lahan mencapai 52 Ha, yang belakangan diketahui diduga masuk dalam kawasan hutan. Dokumen itu yang kemudian sering digunakan sebagai alat legitimasi administratif untuk menyamarkan lahan ilegal agar seolah sah. Bahkan, dalam praktiknya, diduga 10 Ha dari 52 Ha lahan tersebut telah berhasil diperjual belikan.
3. Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga-Ukui Ir. H. Rusi Chairus Slamet
Kades Rusi turut diduga menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) di kawasan TNTN. Hal itu diperkuat seiring masuknya laporan FPHMT ke Kejari Pelalawan baru-baru ini. Rusi disebut-sebut terlibat dalam jual beli lahan kawasan TNTN dan diduga berperan menerbitkan SKT objek lahan yang diperjual belikan tersebut.
“Kami menemukan bahwa praktik tersebut melibatkan pemberian uang panjar sebesar Rp180 juta kepada Kepala Desa dan uangnya dibagi-bagi sesuai kedudukan dan jabatannya masing-masing untuk memuluskan penerbitan SKT. Panjar tersebut diduga diberikan oleh pihak pembeli atas nama LH,” ungkap Harapan AN, Bsc, Ketua Umum FPHMT.
4. Kepala Desa Bagan Limau-Ukui Syarifudin
Ditengah isu miring soal dugaan Kades Bagan Limau Syarifudin menerbitkan SKT di kawasan TNTN, dirinya membantah tegas. Disampaikannya, yang diterbitkan bukan SKT melainkan hanya Surat Keterangan Desa (SKD) yang berfungsi untuk mengidentifikasi kebun-kebun masyarakat agar tidak terjadi persengketaan antara penggarap yang satu dan lainnya serta dapat mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Terpisah, aktivis Forum Pemuda Mahasiswa Peduli Hukum (F-PEMAPHU) Riau, Novrizal Lubis, SH mengatakan dalam pandangan hukum, baik SKT, SKD maupun SPT tidak boleh diterbitkan untuk lahan yang berada dalam kawasan hutan. "Kecuali ada ketentuan atau perubahan status kawasan yang telah dilepaskan atau diubah fungsinya oleh pemerintah melalui mekanisme yang sah dan resmi," ujarnya, Minggu (15/6).
Jika merujuk pada UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, lanjut Novri, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan. "Segala bentuk penggunaan, penguasaan atau penerbitan dokumen SKT, SPT, SKD di kawasan hutan adalah ilegal. Karena itu sama saja dengan mengakui, mendukung, membiarkan penguasaan atau pemanfaatan lahan atas tanah Negara tanpa Hak," terangnya.
Novri mengingatkan, bagi pejabat baik level desa, kecamatan dan seterusnya yang berupaya menerbitkan SKT/SPT/SKD lahan dalam kawasan hutan berpotensi terjerat pidana, dan terancam sanksi sebagaimana dibunyikan dalam pasal 50 Jo. Pasal 78 UU Kehutanan.
"Karena jenis surat tersebut dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Pemilik atau pemegang surat (SKT/SPT/SKD) lahan dalam kawasan hutan juga dapat dianggap menguasai lahan Negara secara ilegal," tutup Novri.
Hingga berita ini diterbitkan pihak-pihak terkait belum dapat dikonfirmasi lebih lanjut. (ER)
#Satgas PKH #TNTN Pelalawan #Kades Pelalawan #Surat Lahan Dalam Kawasan Hutan