TABLOIDTIRAI.COM - Ketegangan sektarian kembali meletus di wilayah selatan Suriah yang mayoritas dihuni komunitas Druze, tepatnya di Sweida, pada Sabtu waktu setempat, 19 Juli 2025. Bentrokan sengit antara kelompok Druze dan suku Badui berlanjut untuk hari keenam berturut-turut, menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas kawasan di tengah upaya rapuh pemerintah menerapkan gencatan senjata.
Suara tembakan senapan mesin dan mortir terdengar jelas di seantero kota Sweida dan desa-desa sekitarnya.
Reuters melaporkan peluru mendarat di beberapa titik pemukiman, meski hingga kini belum ada laporan resmi mengenai jumlah korban jiwa yang terkonfirmasi.
Kementerian Dalam Negeri Suriah pada Sabtu malam menyatakan bahwa situasi telah dikendalikan dan wilayah tersebut telah dibersihkan dari para pejuang suku Badui setelah pengerahan pasukan.
Namun, kesaksian warga dan laporan lapangan menyebutkan masih terdengar dentuman mortir di sejumlah lokasi. Mansour Namour, seorang warga desa di dekat Sweida, mengungkapkan bahwa serangan udara masih meletus di sekitarnya. “Mortir masih mendarat di dekat rumah saya pada Sabtu sore, dan setidaknya 22 orang terluka," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur rumah sakit Sweida, Omar Obeid, melaporkan lonjakan korban luka dan tewas akibat pertempuran. “Semua luka-luka berasal dari bom. Beberapa orang terluka di dada, ada juga luka di anggota badan akibat pecahan peluru,” ujarnya.
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris, sedikitnya 940 orang telah tewas sejak bentrokan meletus.
Bentrokan ini bermula dari ketegangan antara kelompok Druze dan suku Badui, yang kemudian melibatkan pasukan pemerintah Suriah. Pasukan pemerintah yang awalnya dikerahkan untuk meredakan situasi, justru terlibat baku tembak dengan kelompok bersenjata Druze dan bahkan menyerang komunitas mereka. Pemerintah menyerukan penghentian permusuhan, namun konflik terus membara.
Presiden sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, dalam pidato yang disiarkan televisi, menyampaikan bahwa Suriah tidak akan menjadi tempat uji coba untuk pemisahan, pemisahan diri, atau hasutan sektarian. Ia menuding keterlibatan Israel sebagai eskalator situasi. “Intervensi Israel mendorong negara itu ke dalam fase berbahaya yang mengancam stabilitasnya,” kata Al-Sharaa.
Al-Sharaa juga menuding kelompok bersenjata Druze melakukan serangan balas dendam terhadap suku Badui. Pernyataan ini memicu reaksi dari Israel, yang mengklaim sedang melindungi minoritas Druze.
Israel dalam beberapa hari terakhir melancarkan serangan udara terhadap fasilitas militer Suriah, termasuk terhadap markas Kementerian Pertahanan di Damaskus. Israel menyebut tindakannya sebagai perlindungan terhadap komunitas Druze di Suriah selatan, sekaligus menolak kepemimpinan Al-Sharaa yang mereka sebut dikuasai jihadis.
Sementara itu, Amerika Serikat mendukung kepemimpinan Al-Sharaa yang dianggap menjanjikan pemerintahan inklusif. Utusan AS untuk Suriah, Tom Barrack, mengumumkan pada Jumat lalu, 18 Juli 2025, bahwa kesepakatan gencatan senjata telah dicapai antara Israel dan Suriah.
Barrack menyerukan agar semua kelompok yakni Druze, Badui, Sunni, dan minoritas lain membangun identitas Suriah yang baru dan bersatu. (*)
#Suriah #Bentrok Berdarah